Skip to main content
Insomnia Notes

follow us

Kuliner Unik Turaes & Kontroversinya

Berburu Turaes/Tonggeret

Ada seekor hewan yang menjadi ciri khas saat menjelang musim kemarau dengan bunyinya, di daerah Sunda dinamakan Turaes. Turaes adalah hewan sejenis serangga berasal dari ordo Hemiptera, sob ordo Auchenorrhyncha, di superfamilia Cicadoidea. Serangga ini merupakan serangga musiman, hanya hidup antara bulan februari, maret hingga april. Selain di bulan itu, serangga ini tidak ada.
Tahukah sobat, binatang turaes ini mempunyai tempat khusus di masyarakat Conggeang dan Buahdua, dimana sebagian warga sering menjadikannya makanan, baik menjadi lauk pauk teman nasi ataupun dijadikan cemilan. Bahkan di beberapa tempat, pasakan turaes dapat bertahan hingga 2 bulan setelah dimasukkan dalam toples.

Untuk mendapatkan turaes, dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan ngaleugeut/menggunakan sejenis lem di siang hari, atau dengan ngobor pada malam hari. Pemburu turaes dengan cara ngaleugeut biasa berangkat ke hutan atau kebun sekitar jam 6.00 pagi dan pulang pada pukul 14.00 siang hari. Para pemburu tersebut tersebar di beberapa pelosok desa antara lain Narimbang, Jambu dan Cibubuan.

Bah Edi, seorang pemburu turaes dan pedagang di pasar Conggeang mengatakan, ketika berburu turaes, dirinya selalu berangkat pagi dan pulang dari hutan siang hari. Leugeut merupakan alat yang cukup efektif untuk mendapatkan turaes. "Ketika turaes berada di batang pohon atau daun, leugeut (sejenis lem) dipakai menangkap turaes dengan memakai bambu panjang dengan ujungnya diberi lidi yang telah memakai leugeut. Hal itu untuk memudahkan menjangkaunya," katanya dijongko miliknya di pasar Conggeang.
Edi menambahkan, turaes akan menempel di ujung lidi tersebut. "Dimana ada turaes, ujung lidi tinggal ditempelkan saja," tambahnya. Dengan memakai leugeut, Edi bisa mendapatkan sampai 600 ekor turaes perharinya," Tergantung keberadaan turaes sendiri di hutan, banyak atau tidak, kalau lagi banyak bisa mendapatkan 600 ekor, bahkan bisa lebih," ungkapnya.

Ketika musim turaes, Edi merasa senang menangkap turaes, tidak ada rasa lelah ketika harus ke hutan. Disamping itu, lumayan menghasilkan bagi keuangan keluarga. "Tidak ada rasa lelah, seneng saja, meski harus ke hutan. Lumayan menghasilkan juga, dipasar saya menjual di pasar seharga 500 /ekor," ujarnya.

Berbeda dengan memakai leugeut yang dilakukan siang hari, ngobor turaes dilakukan pada malam hari. Cukup dengan membawa lampu pijar/ neon/ berwarna putih ke hutan, turaes akan menyambar ke arah lampu karena sifat alaminya. Jadi fungsi lampu, selain untuk penerangan juga sebagai pemancing untuk serangga datang. Atau jika ingin lebih banyak, bisa menggerakan/ memukul batang pohon hingga turaes berjatuhan ke tanah. Saat berjatuhan ke tanah, barulah turaes diambil.

Keberadaan turaes di malam hari bisa ditandai dengan adanya pohon Suren atau pete, karena makanan turaes berada di kedua jenis pohon itu dengan cara menghisap cairan di pori-pori batangnya. Hal itu diungkapkan Endang Jaro, warga Dusun Sampora, Desa Cibubuan, Conggeang.

"Keberadaan serangga satu ini tidak akan jauh dari kedua pohon itu," kata Endang saat ditemui di kediamannya. Dalam satu malam, Endang bisa dua kali mengobor turaes, pertama jam 18.30 sampai jam 21.30 dan kedua jam 2.00 sampai jam 4.30. "Tapi serangga ini lebih mudah ditangkap dini hari menuju ke pagi," tambahnya.

Endang bisa mendapatkan rata-rata sampai 750 ekor setiap malamnya. Bahkan untuk musim ini, lanjut Endang, dirinya pernah mendapat sampai 1000 ekor setiap malamnya. "Sekali turun ke lampu, bisa sampai 100 - 125 ekor. Untuk musim ini, Alhamdulillah sering mendapatkan 1000 ekor semalam," katanya. Untuk menghemat biaya, Endang memodifikasi lampu pijar untuk kegiatan mengobornya. Dirinya menggunakan lampu DC dan sumbernya memakai aki kering motor.

Endang menambahkan, turaes dari Conggeang dan Buahdua mempunyai keunggulan dari segi rasa, hal tersebut adalaha karena makanannya berasal dari pohon suren dan pete, sehingga rasanya lebih nikmat dibandingkan turaes dari daerah lain. "Misal turaes dari daerah Tanjungsari dan Maja, di kedua daerah tersebut banyak pohon singkong hingga rasa turaesnya akan terasa lebih pait," tutupnya.

*****

Nah, itu tadi liputan seputar kuliner unik turaes di Kecamatan Congggeang dan Buahdua sob, tapi ternyata menjamurnya kuliner ini di musim turaes menimbulkan kontroversi dari segi kehahalalannya. Bagaimana pandangan para ulama tentang hukum memakan turaes ini ? berikut ulasannya.

Turaes/Tonggeret hasil Tangkapan

Turaes memiliki banyak penggemar di Kecamatan Conggeang dan Buahdua, bahkan kini daerah lain juga telah memesan turaes untuk dikonsumsi, seperti sebagian kecil warga Ujungjaya dan Sumedang menjadi salah satu pemesan pasakan turaes.

Namun di balik makin meluasnya penggemar turaes, masih ada kontroversi yang harus dipecahkan. Turaes merupakan serangga yang berdarah putih, menurut ulama turaes hukumnya tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Turaes adalah hewan sejenis serangga, tidak diperbolehkan dikonsumsi karena berasal dari sesuatu yang menjijikan yaitu ulat tanah, atau dalam bahasa Sunda disebut dengan kuuk.

Ustad Tahwi, salah satu ulama di Masjid Agung Conggeang mengatakan sejenis serangga tidak diperbolehkan atau dilarang dalam hukum Islam untuk di konsumsi. Hal itu merupakan kesepakatan para ulama dari Ahlussunah wal jamaah. "Semut, bangbung, siraru, dan lainnya tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi, termasuk turaes," katanya di kediamannya. Tahwi menambahkan, dalam Al Qur'an memang hanya dijelaskan garis besarnya/pokoknya saja, tidak diterangkan secara mendetail.

"Memang dalam Al Qur'an terdapat hanya pokoknya saja, tidak ada keterangan mendetail tentang serangga. Kalau tentang babi dan arak kan jelas ada dalam al Qur'an," tambahnya. Tahwi mengatakan, hukum Islam menjelaskan sampai masyarakat tahu, tapi pemahaman dan pelaksanaan tergantung individu masing-masing. "Jadi saya tidak bisa melarang-larang tidak boleh dikonsumsi, pelaksanaannya tergantung individu masing-masing," jelasnya.

Senada dengan Tahwi, Ustad Udin Hasanudin, pimpinan Pondok Pesantren Darul Muhajirin dan ketua MWCNU kecamatan Conggeang mengatakan turaes berasal dari metamorfosis ulat tanah yang dalam bahasa Sunda disebut kuuk, dengan wujud berwarna berwarna putih, kemudian menjadi kamomonong hingga menjadi turaes dewasa. Semasa hidupnya, ulat tanah akan diam di tempat menjijikan, seperti bawah kandang domba dan pabrik heleran.

"Segala sesuatu yang berasal dari tempat menjijikan tidak boleh dimakan, haram dimakan," katanya di kediamannya. Menurut Udin, barang atau hewan yang menjijikan termasuk tiga hal dosa yang diakibatkan oleh perut. "Diantaranya makanan memabukkan, makanan najis dan makanan yang berasal dari barang menjijikan," jelasnya.

Pada dasarnya semua hewan suci kecuali anjing dan babi, lanjut Udin, tapi ada yang boleh dimakan dan ada yang tidak boleh. Turaes sebenarnya hewan suci, tapi tidak boleh dimakan karenaa merupakan metamorfosis dari ulat tanah yang semasa hidupnya tinggal di tempat menjijikkan. "Segala sesuatunya kembali ke masalah awal turaes sendiri yang berasal dari ulat tanah," tandasnya. Wallahu a'lam

*Diterbitkan di Harian Sumedang Ekspres, Mei 2015

Note : Di domain blog saya yang sebelumnya (www.wewengkonsumedang.com), artikel ini diterbitkan dalam judul post "Kuliner Unik Turaes & Kontroversinya" dengan link sebagai berikut ; "http://www.wewengkonsumedang.com/2015/06/kuliner-unik-turaes-tonggeret.html"

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar