Skip to main content
Insomnia Notes

follow us

Kisah Hanjuang di Kutamaya


Tempat Ditanamnya Pohon Hanjuang Oleh Eyang Jaya Perkosa

Berkaitan dengan sejarah Sumedang, tentunya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa ditanamnya pohon hanjuang di Kutamaya oleh Eyang/Embah Jaya Perkosa, maka dari itu pada kesempatan kali ini admin ingin sedikit menceritakan kembali salah satu episode perjalanan sejarah Kabupaten Sumedang ini.

Di benteng dinding pada foto di atas tertulis "POHON HANJUANG BERSEJARAH, DITANAM OLEH EMBAH JAYA PERKASA +- TH.1585" berarti usia pohon hanjuang disini sudah tua sekali ya sob, sudah sekitar 428 tahunan, pohon intinya sendiri kabarnya tumbang pada sekitar tahun 2000-an, tapi anakannya masih terus tumbuh dengan subur sampai saat ini. Tokoh sentral dalam cerita ini adalah Embah Jaya Perkasa, atau sering juga disebut Eyang/Embah Jaya Perkosa.

Seperti yang pernah diceritakan dalam postingan berjudul Mahkota Binokasih Sanghyang Pake, Mahkota tersebut dibawa oleh 4 orang Kandaga Lante yang terdiri dari Eyang Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu), Embah Terong Peot, Embah Kondang Hapa (Pancar Buana), dan Embah Nangganan. Eyang Jaya Perkosa adalah Senapati terakhir Kerajaan Pakuan Padjadjaran sebelum akhirnya kerajaan tersebut runtuh dan mahkotanya diwariskan kepada Sumedang Larang.

Sejak penyerahan mahkota tersebut beliau pun menjadi Senapati Kerajaan Sumedang Larang, yang itu berarti masa keemasannya Sumedang Larang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran beliau, Embah/Eyang Jaya Perkosa. Berikut cerita tentang kisah hanjuang di Kutamaya :

Pada suatu ketika, tepatnya pada tahun 1507 saka atau sekitar tahun 1585 Masehi, pecahlah pertempuran antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kesultanan Cirebon akibat peristiwa Harisbaya, padahal dua Kerajaan atau Kesultanan ini merupakan dua negara yang sangat dekat kekeluargaannya dan menjalin hubungan bilateral yang sangat baik.

Cerita ini bermula ketika raja Sumedang Larang saat itu, Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, dan ketika beliau pulang dari tempat-tempat tersebut, beliau singgah di Cirebon yang berada dibawah kekuasaan Panembahan Ratu. Sebagai seorang raja yang masih muda, Prabu Geusan Ulun sangat giat belajar bahkan tak segan menuntut ilmu hingga ke daerah lain, selain itu beliau juga dikenal sangat cerdas dan kabarnya mempunyai paras yang sangat tampan.

Prabu Geusan Ulun sendiri pergi belajar ke Demak untuk belajar dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang beliau berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang. Ketika berada di Pajang, Prabu Geusan Ulun bertemu dengan Harisbaya, perempuan cantik Puteri Pajang berdarah Madura ini rupanya berhasil memikat hati Pangeran Geusan Ulun dan membuat beliau jatuh hati padanya, dan singkat cerita pada akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih.

Di lain pihak, tak lama berselang dari itu kabarnya di Pajang sedang ada perebutan kekuasaan setelah wafatnya raja Pajang, Hadiwijaya. Perebutan kekuasaan ini terjadi antara keluarga Keraton Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu (Cirebon) yang menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah putra bungsunya sendiri, Pangeran Banowo. Tapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto yang juga merupakan menantu Hadiwijaya-lah yang berhak menggantikan Hadiwijaya, dan pada akhirnya dipilihlah Arya Pangiri sebagai penerus kekuasaan di Pajang.

Kembali lagi ke Harisbaya, seperti yang telah disebutkan di atas Harisbaya ini merupakan puteri Pajang berdarah Madura dan telah menjalin kasih dengan Prabu Geusan Ulun ketika beliau bertamu ke Pajang, tak disangka oleh Prabu Geusan Ulun dan Harisbaya sebelumnya, ternyata karena kecantikannya Harisbaya di “berikan” oleh Arya Pangiri kepada Panembahan Ratu Cirebon, karena saat itu Arya Pangiri menjadi penguasa Pajang seperti yang telah disebutkan di atas dan berkuasa untuk melakukan hal tersebut. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri ini dimaksudkan agar Panembahan Ratu bersikap netral terhadap perselisihan yang terjadi di Pajang, karena selama ini Panembahan Ratu lebih condong atau mendukung kubu Pangeran Banowo agar meneruskan kekuasaan di Pajang.

Malang tak dapat ditolak, akhirnya hubungan kekasih antara Prabu Geusan Ulun dan Puteri Harisbaya pun harus putus karena sang Putri dipaksa menikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri, cinta yang sedang menggebu-gebu pun kandas begitu saja. Melihat kejadian ini, ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang, maksud Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon adalah untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya, dan sekalian juga melihat mantan kekasih untuk yang terakhir kali.

Tapi ternyata kejadian selanjutnya sungguh sangat diluar dugaan, melihat mantan kekasihnya datang, Harisbaya tampaknya tidak bisa menahan rasa rindu dan cintanya kepada Prabu Geusan Ulun, seketika cintanya makin mengebu-gebu. Diceritakan ketika Panembahan Ratu tertidur, Harisbaya diam-diam mendatangi tempat dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat, ia datang membujuk Prabu Geusan Ulun agar mau membawa dirinya pergi ke Sumedang.

Sontak saja hal tersebut membuat Prabu Geusan Ulun bingung, karena walau bagaimanapun Harisbaya adalah istri pamanya sendiri, Penembahan Ratu. Tetapi dilain pihak Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila ia tidak membawanya pergi ke Sumedang. Di tengah kebingungannya itu, Prabu Geusan Ulun meminta nasehat kepada empat pengawalnya., dan setelah bermusyawarah diambilah keputusan untuk menuruti keinginan Harisbaya, walaupun diakui hal itu pasti akan menimbulkan peperangan dan pertumpahan darah. Hal ini mungkin berdasarkan perhitungan juga, toh jika keinginan Harisbaya tidak dituruti dan ia bunuh diri, masalah dan salah paham dengan Panembahan ratu tentunya akan semakin runyam, rombongan Prabu Geusan Ulun bisa dikira sebagai pembunuhnya.

Akhirnya, setelah melalui berbagai pertimbangan, malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang. Tentu saja hal tersebut membuat Keraton Cirebon gempar di pagi harinya, karena permaisuri beserta tamu Panembahan Ratu hilang begitu saja. Disinilah awal mula pertempuran Sumedang dengan Cirebon, karena melihat istrinya hilang bersama tamunya Prabu Geusan Ulun, Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar rombongan Prabu Geusan Ulun, tetapi prajurit Cirebon yang menyusul Prabu Geusan Ulun dapat dipukul mundur dan dipatahkan dengan mudah oleh empat pengiring Prabu Geusan Ulun yang terkenal sangat sakti.

Tempat Ditanamnya Pohon Hanjuang di Kutamaya

Perang sudah tak dapat dielakkan, Sumedang harus bersiap menghadapi gempuran selanjutnya dari Cirebon. Sebelum berangkat berperang Eyang Jaya Perkosa berwasiat kepada Prabu Geusan Ulun bahwa ia akan menanam pohon hanjuang di ibukota Sumedang Larang (saat itu ibu kota Sumedang Larang terletak di Kutamaya) sebagai tanda, apabila ia kalah atau mati maka pohon hanjuang tersebut juga akan mati dan apabila ia menang serta masih hidup, maka pohon hanjuang tersebut pun akan tetap hidup.

Setelah berkata demikian Eyang Jaya Perkosa berangkat bertempur, peperangan pun berlangsung sangat lama karena pasuka Cirebon yang dihadapi sangat banyak, namun demikian Eyang Jaya Perkosa tetap memenangkan pertempuran tersebut, bahkan saking bersemangatnya beliau terus mengejar dan menghabisi pasukan Cirebon yang telah tercerai berai.

Dan karena terlalu semangat mengejar musuh, pada akhirnya Eyang Jaya Perkosa terpisah dari ketiga saudaranya yaitu Embah Nangganan, Embah Kondang Hapa dan Embah Terong Peot, dimana ketika ketiganya kembali ke Kutamaya Eyang Jaya Perkosa masih terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai.

Karena Eyang Jaya Perkosa tidak turut pulang bersama tiga saudaranya, Prabu Geusan Ulun menjadi sangat gelisah dan cemas, karena walau bagaimanapun Eyang Jaya Perkosa bisa diibaratkan sebagai ujung tombak Sumedang Larang, dan jika ia sampai gugur maka Sumedang akan sangat kehilangan. Saat itu mereka mengira Eyang Jaya perkosa telah gugur dan situasi pun semakin panik, adalah Embah Nangganan yang pertama kali mengira Eyang Jaya Perkosa telah gugur.

Setelah berdiskusi, akhirnya mengikuti anjuran Eyang Nangganan Prabu Geusan Ulun bergegas untuk berlindung ke Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup matinya Eyang Jaya Perkosa, karena mungkin saking paniknya. Sejak saat itu pula ibukota Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur, pemindahan ibukota ini sendiri merupakan taktik Prabu Geusan Ulun untuk menghindari serangan lanjutan dari Cirebon karena saat itu benteng di Kutamaya yang mengelilingi ibukota belum selesai dibangun, di sisi lain, Dayeuh Luhur merupakan daerah dataran tinggi yang bisa menjadi benteng alam yang baik dan juga dapat mengawasi secara langsung musuh yang datang dari jauh, selain daripada itu kabuyutan kerajaan juga terdapat di Dayeuh Luhur.

Di tempat lain, di Kutamaya, Eyang Jaya Perkosa pulang dengan membawa kemenangan, tapi ia heran, ternyata Kutamaya telah kosong ditinggalkan raja dan penduduknya, ia melihat pohon hanjuang yang ditanamnya pun masih hidup. Dengan marah ia pergi menyusul ke Dayeuh Luhur, setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun ia benar-benar melampiaskan amarahnya dengan membunuh Embah Nangganan, yang menyarankan ibukota dipindah dan mengatakan bahwa dirinya telah gugur. Setelah itu iapun pergi, dan bersumpah tidak mau mengabdi lagi untuk siapapun juga, ia berdiri di suatu tempat lalu ngahyang atau menghilang.

Pada peristiwa ini, masa lalu Eyang Jaya Perkosa sebagai Senapati Kerajaan Padjadjaran mungkin ikut menjadi pemicu emosinya, karena penyebab runtuhnya Padjajdjaran adalah serangan gabungan dari pasukan Islam Cirebon, Demak, dan Banten. Melalui peperangan antara Sumedang dengan Cirebon ini mungkin bisa beliau jadikan sebagai bakti lanjutan pada Padjadjaran untuk melawan Cirebon lewat tangan Sumedang, dan mengembalikan kejayaan Padjadjaran melalui Sumedang.

Di lain pihak, pada akhirnya Panembahan Ratu dikabarkan bersedia menceraikan Harisbaya dan itu berarti Prabu Geusan Ulun bisa menikahinya secara sah, dengan syarat ganti talaknya adalah daerah Sindangkasih Sumedang. Akhir cerita Harisbaya pun menjadi istri kedua Prabu Geusan Ulun secara sah, dan perseteruan dengan Cirebon pun berakhir.

Untuk yang terakhir ini sampai sekarang masih terjadi perdebatan, pro dan kontra, tentang daerah Sindangkasih yang diberikan pada Cirebon sebagai ganti talak. Banyak yang meyakini dan mengetahui baik dari cerita turun temurun maupun dari beberapa fakta sejarah, daerah Sindangkasih yang diberikan Sumedang kepada Cirebon adalah Kabupaten Majalengka sekarang, namun demikian nampaknya hal tersebut harus diteliti lagi lebih lanjut agar tidak menimbulkan pro dan kontra atau kebingungan sejarah.

Pemandangan di Sekitar Kutamaya

Hanjuang di Kutamaya ini masih terus hidup dengan subur hingga saat ini, apakah ini berarti Eyang Jaya Perkosa juga masih hidup? Wallahua'lam. Kisah Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya ini sekarang bahkan sudah ada cerita novelnya, kalau tidak salah judulnya "Harisbaya Bersuami 2 Raja", tapi sayangnya admin sendiri belum pernah baca.

NB : Cerita di atas merupakan cerita sejarah yang admin coba ceritakan kembali dengan bahasa admin sendiri, mohon maaf jika ada kesalahan dalam menceritakan ulang dan ditunggu segera koreksinya jika ada kesalahan. Mudah-mudahan bermanfaat.

Note : Di domain blog saya yang sebelumnya (www.wewengkonsumedang.com), artikel ini diterbitkan dengan judul "Kisah Hanjuang di Kutamaya" dengan link sebagai berikut ; "http://www.wewengkonsumedang.com/2013/06/kisah-hanjuang-di-kutamaya.html"

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar