Skip to main content
Insomnia Notes

follow us

Seni Olahraga Tradisional Panahan Kasumedangan

Olahraga Tradisional Panahan Kasumedangan
Image By : gaedegambarist.blogspot.com

Panahan Kasumedangan, merupakan salah satu peninggalan dari zaman kerajaan berupa seni olah raga tradisional. Sebagaimana diketahui, di daerah yang menjadi Kabupaten Sumedang sekarang dulunya berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sumedang Larang, dimana pada masa jayanya Sumedang Larang pernah menguasai hampir seluruh pulau jawa bagian barat, kecuali daerah Batavia (Jakarta), Banten, dan Cirebon.

Seni olahraga tradisional Panahan Kasumedangan ini merupakan peninggalan dari zaman tersebut. Pada masa awal kemunculannya, ia berawal dari kebiasaan masyarakat menggunakan panah untuk berburu, dan di kemudian hari berkembang menjadi senjata untuk berperang. Pada akhirnya, sekarang setelah masa kerajaan berlalu, seni memanah ini dikembangkan menjadi olah raga tradisional agar tetap terjaga kelestariannya. Daerah yang sampai saat ini masih melestarikan seni olah raga tradisional ini adalah Kampung Cimanglit, Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

*Pembuatan Panah

Tidak mengherankan jika di Kampung Cimanglit seni olahraga tradisional ini masih tetap lestari, karena di tempat tersebut keberadaan pohon bambu masih tetap terjaga. Rimbunnya pepohonan bambu yang ada di desa dimanfaatkan warga setempat sebagai bahan baku untuk membuat panah dan busurnya.

Namun memang, tidak sembarang bambu bisa dipakai untuk membuat anak panah, hal tersebut dimaksudkan agar anak panah yang dihasilkan bagus dan bermutu tinggi. Dari 13 jenis bambu yang tumbuh di wilayah Rancakalong, khususnya di Desa Cimanglit, hanya bambu bitung saja yang bisa menghasilkan kualitas panah yang baik, sayangnya, bambu jenis itu paling sulit dicari.

Bambu bitung bisa menghasilkan panah dengan kualitas baik karena bambu ini mempunyai batang yang tebal, kuat dan keras. Bambu yang akan dipakai pun tidak sembarangan, bambu yang dipilih untuk membuat panah biasanya adalah yang tumbuhnya menghadap ke timur. Alasannya, bambu tersebut (yang menghadap ke timur) mendapat sinar matahari lebih banyak ketimbang bambu yang menghadap ke barat atau ke arah lain.

Tanggal 1 Muharram, merupakan saat yang dianggap paling tepat untuk mulai menanam maupun menebang pohon bambu. Hal tersebut berdasar pada sikap hidup masyarakat di tempat tersebut yang religius dan menghormati leluhur. Bahkan sebelum menebang bambu, mereka menyalakan rokok terlebih dahulu, lalu meletakkannya di bawah pohon sebagai persembahan bagi para leluhur.

Dalam pembuatan anak panah, bambu yang telah ditebang akan dipotong sesuai kebutuhan, yang terpenting adalah, panjang anak panah harus disesuaikan dengan rata-rata panjang tangan pemain. Tentu hal ini dimaksudkan agar pemain tidak merasa kesulitan menarik anak panah pada busurnya ketika permainan berlangsung. Setelah itu, bambu kemudian direrab (sekedar dipanaskan di atas bara api) agar kering, baru setelah benar-benar kering bambu dibentuk menjadi anak panah.

Setelah dibentuk menjadi anak panah, potongan bambu yang telah mempunyai bentuk tersebut lalu diserut agar permukaannya semakin rapi, lalu diberi warna dengan cat agar tampak lebih indah. Di ujung anak panah akan ditempel lempengan besi yang telah ditempa, besi yang ditempa akan berbentuk pipih. Besi yang telah berbentuk pipih tersebut kemudian dibengkokan, melingkari anak panah dengan ujung membentuk sudut yang tajam.

Setelah anak panah yang berujung tajam terbentuk, bagian selanjutnya adalah menempel bulu. Bulu merupakan bagian penting dari sebuah anak panah, karena dengan adanya bulu tersebut anak panah bisa melesat lurus ke depan. Bulu yang dipergunakan berjumlah 3 helai, satu helai harus menghadap ke atas, sedangkan dua helai lainnya menghadap ke samping, ini dimaksudkan agar anak panah dapat melesat lurus kedepan dan tidak terpengaruh hembusan angin. Dulu, bulu yang biasa digunakan adalah bulu elang, namun seiring waktu bulu elang pun semakin sulit didapat, maka digantilah bulu elang ini dengan bulu ayam atau angsa.

Alat panahan selanjutnya yang harus dibuat adalah busur, busur panah dibuat dari dua bilah bambu yang disambung, dengan ruas bambu masing-masing berada di tengah bambu yang akan disambung. Dengan cara menyambung seperti ini busur akan menjadi lebih kuat.

Pengerjaan alat yang terakhir adalah memasang tali pada busur. Sekalipun olahraga panahan ini dimainkan secara tradisional, tali yang digunakan merupakan benang sutra impor dari Korea. Alasannya, tali tersebut sangat kuat dan tidak mudah putus, sehingga aman dan nyaman ketika digunakan untuk menarik anak panah pada busurnya.

*Jalannya Pertandingan

Pasanggiri atau pertandingan panahan Kasumedangan, merupakan saat yang dinanti-nanti warga. Seluruh warga, dari anak-anak sampai dewasa tanpa terkecuali, akan berbondong-bondong mendatangi lapangan tempat dilangsungkannya pertandingan. Sementara itu, para peserta akan mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan ikat kepala (iket) dalam berbagai bentuk. Masing-masing dari mereka membawa anak panah dan busur andalan.

Menjelang dimulainya pertandingan, masing-masing peserta mengambil nomor urut undian. Nomor tersebut ditempelkan ke satu anak panah yang kemudian ditancapkan pada sebuah gedebok pisang. Cara ini memudahkan juri untuk melihat anak panah siapa yang mengenai sasaran, sebab satu target akan diincar oleh 50-an pemanah.

Kegiatan pertandingan sendiri diawali dengan musik dan tarian, dimana seluruh peserta akan ikut ngibing atau menari, diiringi alunan angklung jengklung. Menyusul musik dan tari, acara selanjutnya adalah seremonial, dimana dua pembina warga, yang juga disebut dengan warga Sumedang Larang menyerahkan panah pusaka peninggalan kerajaan Sumedang Larang kepada sesepuh Sumedang Larang, yang biasa disapa Pupuhu.

Panah pusaka ini disebut Panah Kabuyutan, dan menjadi simbol kehadiran leluhur pada pertandingan tersebut. Kedua panah pusaka ditancapkan di atas hiasan dari janur. Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Pupuhu, yang mengemukakan bahwa inti dari panahan adalah manah, manah dalam bahasa Sunda berarti hati. Ini dapat diartikan, bahwa memanah harus dilakukan dengan hati bersih.

Setelah itu, barulah selubung yang menutupi target atau sasaran akan dibuka. Sasaran tersebut berupa patung Dasamuka, patung ini berdiri dengan jarak 50 meter dari tempat para pemanah duduk. Makna di balik Dasamuka ini, adalah anggapan bahwa pada zaman sekarang banyak orang yang berwajah dan berkepribadian banyak, lain mulut lain di hati, lain sikap lain ucapan. Hal ini harus ditumpas, dihabisi, yang dianalogikan dengan anak panah yang menancap di sasaran tersebut. Menancapnya anak panah itu sebagai simbol menyingkirkan sifat-sifat buruk manusia.

Seperti dalam kegiatan panahan sebagai olah raga, sasaran tersebut juga memiliki nilai, tergantung dari tingkat kesulitan untuk membidiknya. Kepala memiliki nilai tertinggi, yaitu sembilan, diikuti berturut-turut oleh dada dengan nilai tujuh, perut dengan nilai lima, dan bagian tubuh lainnya dinilai satu. Pemanah yang mengumpulkan nilai terbanyak, dialah yang muncul sebagai juara.

Untuk satu kali pertandingan, para pemanah harus menyiapkan 1 hingga 15 anak panah. Satu anak panah ditancapkan di gedebok pisang, untuk keperluan juri, sementara anak panah yang lain dipakai untuk bertanding. Sistem permainan diadakan dalam beberapa kali rambahan/putaran, misal lima rambahan/putaran, dimana sekali putar, para pemain membidikkan 12 anak panah sekaligus. Lamanya para pemain mengumpulkan kembali anak panah, lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan untuk membidikkan ke-12 anak panah mereka. Satu rambahan bisa memakan waktu selama 10 menit.

Begitu lima rambahan selesai dimainkan, seperti pada awal permainan, para pemanah warga Sumedang Larang kembali ngibing atau menari. Acara hiburan ini diselingi dengan adu silat yang dimainkan sendiri oleh Pupuhu. Setelah itu, kedua panah pusaka yang sebelumnya ditancapkan ke hiasan janur, dikembalikan kepada kedua pembina Sumedang Larang. Sementara itu, para juri telah siap dengan hasil penghitungan nilai para peserta.

Olah raga tradisional sekaligus kesenian ini dalam prakteknya membutuhkan ketenangan. Sekali pemain terganggu konsentrasinya, maka arah anak panahnya akan melenceng dan tidak mengenai sasaran. Ini terkait erat dengan makna di balik panahan itu sendiri, yaitu manah atau hati. Ibarat menjalani kehidupan, tanpa hati yang bersih, mustahil seorang pemanah mampu mencapai tujuannya dengan sempurna.

Terselip pepatah dari Pangeran Sugih dalam olahraga tradisional ini yaitu "manah, maneh, matih, matuh", yang intinya berlandaskan pada perbaikan hati dan hubungan antar sesama manusia, leuleus hate jeung nyaahan, deudeuhan (hati yang lembut dan penuh kasih sayang), hati yang merdeka, dan tentram penuh ketenangan.

*digubah dari indosiar.com

Note : Di domain blog saya yang sebelumnya (www.wewengkonsumedang.com), artikel ini diterbitkan dalam judul post "Seni Olahraga Tradisional Panahan Kasumedangan" dengan link sebagai berikut ; "http://www.wewengkonsumedang.com/2015/09/seni-olahraga-tradisional-panahan.html"

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar