Skip to main content
Insomnia Notes

follow us

Artefak Seni Ketuk Tilu

Artefak Seni Ketuk Tilu, bersama Pewaris dan Kepala Desa Bantarmara

Lazimnya sebuah benda, seiring waktu pasti akan rusak dimakan usia, namun tentu tetap harus ada perlakuan khusus untuk benda-benda yang mengandung nilai sejarah. Hal tersebut dimaksudkan agar benda bersejarah dapat bertahan lebih lama dan bisa terus disaksikan dari generasi ke generasi sebagai saksi bisu perjalanan sejarah. Di Sumedang, tepatnya di Desa Bantarmara ada salah satu peninggalan sejarah yang harus mendapat perhatian khusus, peninggalan sejarah yang dimaksud adalah artefak alat musik Ketuk Tilu. Bagaimana sejarah alat musik Ketuk Tilu dari Bantarmara, bagaimana keunikannya serta apa bedanya dengan seni ketuk tilu dari daerah lain ?? berikut ulasannya :

Seni Ketuk Tilu, merupakan kesenian yang biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan, atau penutup suatu kegiatan. Istilah Ketuk Tilu diambil dari jumlah alat musik pengiringnya yaitu 3 buah ketuk (bonang) yang memberi pola irama. Kesenian ini merupakan kesenian yang ada di semua daerah tatar Sunda dan menjadi asal muasal seni Jaipongan.

Dibanding dengan seni Ketuk Tilu dari daerah lain, seni Ketuk Tilu dari Desa Bantarmara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Sumedang mempunyai keistimewaan tersendiri. Keistimewaan tersebut terletak pada alat musiknya, karena seni Ketul Tilu dari Desa Bantarmara menggunakan alat musik bersejarah yang hanya ada satu-satunya, sebagai sebuah kesatuan seperangkat alat musik Ketuk Tilu yang trediri dari Goong Ageung (gong besar) dan tiga buah ketuk (bonang). Menurut penjaga/pewaris alat musik Ketuk Tilu yang sekarang, Nini Elum, diwakili Kepala Desa Bantarmara, Saman mengatakan bahwa dari sejarah awalnya, alat musik seni Ketuk Tilu Desa Bantarmara dulunya berasal dari pemberian pihak kerajaan pada daerah yang memiliki keunggulan dari segi tertentu.

“Jadi alat musik ini berasal dari jaman saat Sumedang masih menjadi kerajaan dulu. Ini diberikan pada daerah yang mempunyai keunggulan dari berbagai segi. Kalau sekarang mungkin seperti penghargaan Adipura untuk kabupaten terbersih,” kata Saman. Saman menambahkan, Desa Bantarmara telah terbentuk menjadi sebuah desa sejak jaman kerajaan dulu, jauh sebelum ada desa-desa lain di Sumedang seperti sekarang ini.

Lanjut Saman, dulunya alat musik Ketuk Tilu Desa Bantarmara difungsikan untuk mengumpulkan penduduk jika pihak pemerintah desa akan mengumumkan sesuatu. Sebagai sebuah sarana hiburan, dulu masyarakat akan langsung berdatangan ketika alat musik Ketuk Tilu ini ditabuh. “Baru setelah penduduk terkumpul, pemerintah desa mengumumkan apa yang akan disampaikan,” lanjut Saman. Saman menjelaskan, dirinya kurang begitu hapal dari tahun berapa alat musik Ketuk Tilu Desa bantarmara Sumedang berasal, karena pewaris alat musik yang bersangkutan, Nini Elum, sekarang sudah terserang penyakit pikun, “Ni Elum lebih tahu, sayang karena keadaannya sekarang beliau tidak bisa menjelaskan,” jelas Saman.

Saman menjelaskan, Ni Elum sekarang bertindak selaku pewaris alat musik Ketuk Tilu Bantarmara karena dulunya pihak kerajaan menitipkan alat musik pada perwakilan penduduk. “Dulu mulanya diberikan pada Buyut Janggot, selang beberapa generasi sampailah pada Ni Elum, ini tidak akan bisa dipindah tangankan (diberikan/dirawat oleh orang lain),” terang Salman.

Saman berkata, alat musik Ketuk Tilu mempunyai kesakralan tersendiri, bahwa yang memelihara harus benar-benar ahli waris, itu pun harus yang terdekat dengan ahli waris sebelumnya. Jika dirawat atau disimpan oleh orang lain, maka orang tersebut akan jatuh sakit. “Jangankan oleh orang lain, dulu ini pernah disimpan oleh Pak Entom, Pak Entom adalah anaknya Ni Elum (masih satu garis keturunan), tidak berselang terlalu lama Pak Entom jatuh sakit muntah-muntah terus, disaat yang sama ada yang nyurup ke Ni Elum bahwa alat musik ini harus dikembalikan ke Ni Elum, jadi tidak bisa dilangkahi (warisnya),” jelas Saman.

Sekarang, alat musik Ketuk Tilu Desa Bantarmara salah satu ketuknya sudah mengalami kerusakan karena usia alat musik yang sudah sangat tua. “Logam yang dipakai untuk membuat ketuk ini pun sangat tipis, sangat rentan rusak," ujar Saman. Namun demikian, pewaris tidak menghendaki membuat duplikat atau replika alat musik karena sesuai amanat alat musik Ketuk Tilu tersebut harus selalu dimainkan. “Tidak boleh diperbaiki/ditambal juga, karena akan merubah bentuk benda bersejarah,” pungkas Saman.

*Diterbitkan di harian Sumedang Ekspres, 14 Maret 2015

Note : Di domain blog saya yang sebelumnya (www.wewengkonsumedang.com), artikel ini diterbitkan dalam judul post "Artefak Seni Ketuk Tilu" dengan link sebagai berikut ; "http://www.wewengkonsumedang.com/2015/03/artefak-seni-ketuk-tilu.html "

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar