Skip to main content
Insomnia Notes

follow us

Antara Pulau Melayu, Sumur Tua, dan Johan

Berfoto di dasar danau

"Oiii, panas meh! Gak ada air sikitpun!"

"Ah sutra lah, kita topoto jak yuk!"

Dan...cekrek, cekrek, kamera ponsel beberapa kali berbunyi.

Sobat, pasti pernah dong ya nonton film Pirates Of The Caribbean? Tentu kita ingat, dalam seri yang menceritakan tentang para perompak yang dikutuk hidup abadi dalam bentuk kerangka bernyawa, banyak scene yang menjadi andalan, salah satunya yaitu ketika para perompak yang terlihat berubah menjadi sosok pasukan kerangka, berjalan di dasar lautan, berjibaku untuk naik ke atas kapal sebelum merampok dan mengambil alih kapal tersebut.

Stop! Jangan dibayangkan kelanjutan adegannya, karena kita memang tak akan membahas tentang film itu *hih, gak jelas bener ya*. Maksud saya mengutip sedikit adegan dalam film tersebut adalah, bahwa saya juga pernah lho berjalan di dasar laut! atau danau lah tepatnya. Apa? Tak percaya? Percaya saja lah, toh saya memang berjalan di dasar danau...yang sedang mengering, hehe.

Pengalaman itu saya dapat ketika bermukim di Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sekitar tahun 2011-2012an silam. Dimana dalam sebuah diskusi bersama teman-teman tentang akan kemana kita di liburan akhir pekan, didapatlah sebuah kesepakatan bahwa kita akan melakukan perjalanan ke Danau Sentarum.

Danau Sentarum, tentunya banyak dari sobat juga sudah tak asing kan dengan nama danau tersebut? Lanjut, tak banyak pikir, waktu itu kita pun nekat untuk lakukan perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu satu hari satu malam, dengan menggunakan sepeda motor. Sudah terbayang kan, seberapa jauh perjalanan yang akan kami lakukan? Hmmm.

Bagai kesetanan karena sudah sangat merindukan liburan, rencana yang tak begitu matang kami eksekusi saat itu juga. Sore hari, dari halaman kantor kami langsung konvoi tujuh sepeda motor dari kota Putussibau menuju Danau Sentarum. Perjalanan panjang langsung tersaji, dan....tak berselang lama kami pun dicegat malam. Bodor emang ya, nekat! Haha. Gelap pedalaman hutan Kalimantan dikira enteng!

Dan dalam muka jalan yang mulai tak bersahabat, sekira jam 10-11 malam kami putuskan untuk transit dan beristirahat di rumah salah satu peserta konvoi, Mbak Lidya namanya. Beruntung memang, rumah Mbak Lidya ini terlewati rute jalan yang kami jelajah di sebuah desa bernama Embaloh Hulu. Kami putuskan untuk bermalam di situ.

Ya, lagipula kami mulai merasa tak aman menerobos belantara hutan Kalimantan di tengah malam, apalagi sudah semenjak Maghrib jalan yang kami lalui berubah jadi begitu licin dan berbatu. Sudah berkali pula kami terjatuh tersungkur. Merindingnya, dalam perjalanan, di cerah langit berbintang yang gelap tertutup atap hutan, salah seorang dari kami mendengar suara-suara aneh! Sampai menangis ia dibuatnya. Apalagi dalam lingkup gelap yang sepi itu, hanya deru dan terang lampu depan sepeda motor kami yang bisa usir cekam yang tiba-tiba menyergap.

Untunglah semua berubah sesudah kami sampai di rumah Mbak Lidya. Bakar ikan, makan bersama, maen kartu, begadanglah kami dalam canda tawa yang begitu hangat. Begitu hangat dan akrab, sampai-sampai saya merasa sedang berada di rumah sendiri. Maklum lah, saat itu saya anak rantau yang baru pertama kali jauh dari rumah hehe, kadang suka kangen keluarga! Dan bersama teman-teman inilah saya disambut dengan tangan terbuka, tak perlu waktu lama untuk akrab meski keberadaan saya di Kapuas Hulu masih terhitung baru.

Tepian Sungai Embaloh

Tepian Sungai Embaloh

Embaloh Hulu

Embaloh Hulu

Kembali ke cerita, esoknya, setelah mandi di sungai Embaloh kita langsung melanjut perjalanan. Tapi apa daya, ternyata kami tetap tak bisa sampai ke tempat tujuan! Karena hingga menjelang siang kami baru sampai daerah Landjak, di Banua Lanjdak.

“Gimana ini? Sekarang udah siang, besok kan kita masuk kerja lagi oi!”

Begitu kira-kira pekik salah satu teman, Mbak Dina Namanya, beliaulah yang menangis ketakutan dalam seram hutan, di malam sebelumnya. Ya, cukp beralasan Mbak Dina ini khawatir, karena kita tak kunjung sampai ke tempat tujuan! Sementara untuk balik ke Putussibau pun kita butuh sehari perjalanan.

“Aok meh (iya). Sudahlah, kita jadinya ke Pulau Melayu aja yukz?” Sahut seorang teman lainnya, Mas Dedek. Dari situ lah, daripada waktu libur terbuang percuma, kami mengambil lagi sebuah pemufakatan bahwa tujuan perjalanan akan dialihkan ke sebuah pulau bernama Pulau Melayu. Setidaknya untuk sampai ke pulau tersebut kita akan menemukan hal mengasyikkan, naik perahu beramai-ramai. “Siapkan ongkos oii buat kita nyebrang naik perahuu!!”

Dengan alihkan focus ke Pulau Melayu, setidaknya keinginan kami untuk berkunjung ke Danau Sentarum tak begitu meleset karena pulau ini masih satu gugus dalam daratan yang tergenang pasang surut Danau Sentarum. Oh ya, danau Sentarum adalah danau musiman yang dipenuhi air selama 10 bulan setiap tahunnya, dan sisanya akan surut, membentuk kolam-kolam kecil yang berisi ikan-ikan kecil.

Nha nyambung dengan adegan film Pirates Of The Caribbean dan saya yang berjalan di dasar danau adalah, ketika kita rombongan hampir sampai di Pulau Melayu, ternyata danau yang mengelilinginya sedang surut! Otomatis keinginan kita berdayung sampan pun juga tak terlaksana di sana, hueh. Untuk sampai ke pulau itu kita hanya berjalan kaki, dengan keciprat keciprut air semata kaki yang ditendang-tendang kesana-kemari. Air menggenang di beberapa area, sedang lainnya hanya tandus pasir berkerikil seperti bisa diliat dalam foto-foto berikut:

Jika sedang pasang, tempat berfoto ini adalah sebuah danau yang cukup dalam

Berpose di dasar danau

Hampar pasir berseling parit kecil

Bergaya dulu

Cekrek-cekrek

Dasar danau yang kering kerontang

Hamparan tandus berseling parit

Hampar pasir dengan liku parit kecil yang terbentang luas di hadapan, sajikan indah pemandangan kala siang mulai masuki petang. Dimana sinar matahari yang menembus sela-sela lembayung, hadirkan semburat yang sungguh elok! kayak di film-film! Sayang banget nih, waktu itu banyak foto-foto pemandangan di Pulau Melayu yang terhapus karena dulu hape saya error, huh. Alhasil, hanya sebagian kecil saja foto dokumentasi yang bisa terselamatkan.

Saya lihat, Pulau Melayu ini adalah berupa pulau kecil yang areanya didominasi oleh bebatuan, Di tengah pulau, ada semacam saung atau sebuah tempat peristirahatan yang cukup besar, yang bisa dipakai oleh pengunjung untuk menghidang dan makan bekal mereka. Ya, jika akan berkunjung ke pulau Melayu ini kita harus bawa bekal sendiri, karena sama sekali tak ada orang yang berjualan di sana.

Setapak demi setapak menjelajah pulau...kok ya saya lihat banyak sekali, banyak...banyaaak sekali duri ikan bertebaran di pulau ini. Saya menganggap ini aneh! Apa duri-duri ikan ini sengaja ditebar atau bagaimana, saya tak tahu. Apalagi kebanyakan duri ikan masih berbentuk sempurna dengan kepala dan ekornya, persis seperti ikan sisa makan dalam film kartun Tom & Jerry. Penasaran, saya tanya deh tentang itu sama Mbak Lidya, eh beliau jawab “Hush!! ah Kang Jer, mending kita jangan banyak tanya lha, kita nikmati aja nii liburan kita inii!”. Hmmm, walhasil saya hanya bisa lanjut bertanya-tanya. Dan bagi saya, duri-duri ikan itu tetap jadi misteri sampai sekarang.

Di sudut Pulau Melayu ini ada sebuah sumur tua yang airnya sudah mengering. Kesan seram langsung menyeruak di situ. Walau sebenarnya harus saya akui, kesan seram itu bukan hanya saya tangkap di sekitaran sumur saja, melainkan di keseluruhan area pulau! Mungkin, itu karena pulau ini jarang dikunjungi orang, hanya jadi tempat transit para nelayan ketika air sedang pasang. Sepertinya itu jadi penyebab Mbak Lid berikan nasehat jangan banyak tanya, dan jangan berani berbicara kotor atau kasar di Pulau Melayu ini.

Ngomong kasar sih emang gak boleh ya mau dimanapun juga, dan di Pulau Melayu ini, itu dilarang keras!! Yang saya tangkap, pantangan itu mungkin serupa pamali, sama seperti sebuah mitos di Sumedang yang melarang menyebut kata “Ucing” di daerah Cipancar. Dan banyak lagi contoh lainnya, yang jika dilanggar dipercaya akan mendatangkan petaka.

Kembali ke sumur, sumur di sudut pulau itu mempunyai beberapa tiang kayu, dan diberi atap. Yang jadi perhatian saya adalah, di tiang-tiang kayu itu ada banyak sekali patahan ranting! Baik bambu maupun kayu, yang ditancap-tancapkan. Entah saya pun lupa lagi, kalau tak salah di situ ada semacam tali sabut yang melingkar di setiap tiangnya. Di situlah banyak ranting tertancap, atau lebih tepatnya, diselipkan.

“Ayok tulis-tulissss...siapa tau benar bejodoh! Hihiihi,” Ajak Bang Ronal. Beliau ini peserta touring yang sepertinya cukup dekat dengan Mbak Lidya. Entah mereka berpacaran atau tidak, saya tak tahu. Dan ajakan itu, membuat saya mengernyit dahi, “Nulis? Nulis apa?” Saya bertanya.

Pletek, pletek, pletek, Bang Ronal, Mbak Lyd, dan lainnya mulai mematah ranting kering yang banyak tersebar di lokasi. Sret, sret sret, mereka tulisi ranting-ranting itu dengan bolpoint. Dan setelah selesai, semua berbondong hampiri sumur. Bisa ditebak, selanjutnya mereka antri menancapkan ranting-ranting yang telah ditulisi itu ke tiang sumur. Wiih, sekilas ini mirip sebuah ritual!!

Penasaran, saya hampiri juga dah sumur itu. Dan...telisik punya telisik, setelah membelalak-belalakkan mata melihat ranting-ranting yang tertancap, dimana banyak tulisan yang tertera sudah tak lagi jelas, saya dapati ternyata yang ditulis adalah nama pasang-pasangan!

“Ayok Kang Jer tulis lah itu nama Nuan (anda, kamu), pasangkan sama nama sapa aja yang Nuan kenal atau suka, siapa tau bejodoh,” Ujar Mbak Lyd sambil menyodor sebatang ranting.


“Tapi awas! Jangan Nuan tulis nama Nuan bersanding sama nama aku ya!! Apalagi kalau sampai pake lope-lopean!!” Lanjutnya lagi.

“Hahaha, kalau nulis Jery – Nabila Syakieb, boleh Mbak?”

“Seterahhh! Asal jangan namaku!! Awas, tak penyet-penyet nanti idung Nuan kalau berani tulis namaku!”

Saya cerna sejenak lontar kalimat Mbak Lidya itu, hmmm. Dan...fix sudah, sepertinya, dipercaya bahwa sumur itu bisa kemudikan takdir dalam hal jodoh! Entah benar ia dipercaya sedemikian rupa, atau yang datang ke pulau ini iseng saja menancapkan nama mereka bersama pasangan di tiang sumur. Yang jelas, nama pasangan yang tertera di sana sudah banyak sekali!

Tapi kalau melihat cara Mbak Lidya dan lainnya menancap ranting lope-lope itu ke tiang sumur sih, saya kira ini hanya iseng dan canda-canda saja. Toh mereka lakukan "ritual" dengan ketawa-tawa, bercanda-canda. Tak ada tuh komat-kamit menggumam doa atau mantra-mantra.

Dan...karena terus dipaksa saya pun akhirnya melakukan hal yang hampir serupa. Mahiwal saja rasanya kalau yang lain nulis-nulis dan saya engga, nanti bisa dibully habis dong sayanya. Sret sret sret...dan saya pun menulis nama “Jery Yanuarlan” bersanding dengan nama seorang hawa, dengan simbol lope lope di tengah dua nama yang sudah bersanding. Tapi...saya sama sekali tak menulis di ranting, melainkan langsung di tiang sumurnya! Hehe. Maaf jadi ikut mengotori, saya lakukan itu karena melihat ada beberapa juga yang sudah melakukan hal serupa, jadi ya saya ikutan saja, walau saya ngerti sebenernya lakukan tindakan vandalis kayak gitu gak boleh sih.

“Oii Oii gak waras niii Kang Jer! Awas kualatt!”

“Lain sendiri itu Nuan! Gimana kalau jadi tak bisa besatu sama Nuan punya cewek?”

“Masukin sumurnya aja itu si Kang Jer, masukin sumuurrr!!”

Dan walhasil, ternyata tetap saja saya kena bully, heheh.

Yah, agama dan kepercayaan saya memang sangat melarang hal tersebut, meski hanya bercanda. Makanya saya tak melakukan yang sama persis. Adapun saya menulis, adalah untuk menghormati ajakan teman yang sekaligus juga serasa sudah jadi saudara, tentunya tanpa sedikitpun percaya dengan kesaktian si sumur. Kalau saya nulis di ranting, takutnya jadi terbawa percaya karena gerak arah hati kan begitu halus ya. Kalau nulis di tiang kan, anggap saja sama seperti waktu sekolah dulu, nulis “Jery lope Jery lope” di meja, kursi, papan tulis, sampai tiang kelas. Sampai dinding WC sekolah pun banyak jadi sasaran lope-lopean, kan? Gitu maksud saya mah.

Lalu, nama siapakah yang saya sandingkan dengan “Jery Yanuarlan” di tiang sumur tersebut? Nabila Syakieb? Agnes Monica? ya pasti bukan lah! Emmm, dulu itu...saya menulis nama seseorang yang sangat istimewa untuk saya. Dan Alhamdulillah, sekarang sudah setengah dekade lebih saya dan si perempuan yang namanya tertulis di tiang itu berdayung sampan bersama, dalam bahtera rumah tangga. Tuhan benar-benar pilihkan dia untuk saya, kita benar berjodoh sampai ke pelaminan.

Apakah itu karena tuah si sumur tua? Ya tentu saja bukan dongs! Adapun saya dan beliau yang saya tulis di tiang sumur itu ternyata benar berjodoh, itu mah murni Johan, Jodoh di tangan Tuhan. Secara kita sudah jalan bareng cukup lama, sebelum akhirnya LDR-an karena saya menetap dan bekerja di Kalimantan. Sepulangnya dari Kalimantan ya buru-buru saya iket deh tuh dia yang namanya ada di tiang itu, pakek Ijab Qobul. Takutnya keburu diambil orang.

Huahh...udah dulu ah yah saya ceritanya. Udah kepanjangan, udah pegel juga saya nulisnya...kita sambung cerita di lain waktu. Permiosss.

Berpose di Pulau Melayu

Berpose di Pulau Melayu

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar